Artikel

Home » Artikel » Pande Besi dan Para Empu dari Tatar Sunda

Pande Besi dan Para Empu dari Tatar Sunda

COLLECTIE_TROPENMUSEUM_Goudsmede

Oleh Jimmy S Harianto

Kerajaan Sunda menurut Tome Pires, kerajaannya sangat besar. Dan luasnya dikatakan mencapai 400 liga, dimulai dari Sungai Cimanuk membentang hingga Balambangan di ujung timur Pulau Jawa. Kekuasaan kerajaan Pasundan waktu itu dituturkan menjangkau sejauh Maluku serta berdagang hingga Malaka. Orang-orang Sunda pada abad ke-16 itu menggunakan berbagai macam keris, pedang dan tombak yang berlapis emas.

Deskripsi catatan yang ditulis Tome Pires, pelaut Portugis yang bersama nakhoda armada kapal Portugis, Francisco Rodrigues melakukan perjalanan dari Laut Merah menuju Cina melalui Nusantara (1512-1515) itu kemudian diterbitkan di Inggris dalam buku mereka yang terkenal, Suma Oriental (1944) di London oleh Armando Cortesao (1944). Dilukiskan luas atau jarak tempuh kerajaan Sunda mencapai 400 liga itu didasarkan pada matra ukuran orang Eropa saat itu, yang mengukur jarak yang bisa ditempuh oleh seseorang selama satu jam berjalan kaki, atau setara dengan 4,8 km. Sehingga 400 liga itu kalau dikonversi dengan ukuran sekarang mungkin sejauh jarak 1920 km.

Tome Pires melukiskan, “…orang-orang Sunda menggunakan berbagai macam keris, pedang dan tombak berlapis emas,’ tentunya yang dimaksud waktu itu adalah orang-orang Sunda dalam konteks zaman sebelum runtuhnya Pajajaran (1579) dan sebelum berdirinya Kesultanan Banten (1552-1813). Sementara di  Jawa belahan Timur masih jaya-jayanya berkuasa Kesultanan Demak (1478-1548) serta periode akhir-akhir Majapahit (1293-1527).

Dan ketika melanjutkan perjalanannya dari Tanah Sunda menyusur ke pesisir Utara Jawa, sampai ujung Jawa bagian timur di Balambangan (Blambangan), Tome Pires melukiskan berdasarkan temuannya bahwa dalam hukumnya “setiap lelaki di Jawa itu baik yang kaya maupun miskin, di rumahnya harus menyimpan keris, tombak dan perisai. Tidak seorang pria pun yang berusia dua belas hingga delapan puluh tahun diperkenankan keluar dari pintu rumah tanpa mengenakan keris di ikat pinggangnya. Mereka mengenakan keris seperti halnya belati bagi orang Portugal,” demikian Tome Pires. Deskripsi Pires ini tentunya dalam konteks zaman kesultanan Demak di pesisir Jawa Tengah, serta Majapahit akhir di Jawa bagian timur.

Keris di Era Banten

Catatan Tome Pires tentang keris ini diperkuat kesaksian seorang Inggris, Edmund Scott di abad ke-17 yang pernah tinggal dan menjadi Gubernur British East India Company di Banten dari 1603-1605. “Senjata yang umum dikenakan (orang-orang Banten) disebut keris (crise). Kurang lebih panjangnya sekitar dua kaki (two foote), dan bilahnya bergelombang, berkelok ke sana kemari seperti lekukan, semua sisinya tajam, dan kebanyakan logamnya diberi racun, sehingga satu diantara 500 orang yang terluka oleh keris tidak akan lolos hidupnya. Hulu senjatanya terbuat dari tanduk atau kayu, yang diukir aneh menyerupai setan yang mereka puja..,” tulis Edmund Scott. Deskripsi Edmund Scott ini tentunya pada era Kesultanan Banten.

Jejak peradaban besi di tanah Pasundan, juga pernah ditulis oleh sejarawan Anthony Reid (1988) yang mengungkapkan bahwa kerajaan Pajajaran di Jawa Barat sebelum tahun 1500-an dengan para pande besinya yang bisa menunjukkan bahwa bijih besi mengandung titanium pernah ditambang dari pegunungan Jawa barat-daya (Garut?). Tetapi tidak ada bukti yang menguatkan bahwa industri keris Majapahit di Jawa Timur yang jaya di masa-masa menyurutnya pengaruh Pajajaran di Pasundan, tak pernah dipasok bahannya dari wilayah Jawa Barat ini, kata Reid. Majapahit, menurut catatan Reid, bahkan mengimpor bahan besi untuk keris-kerisnya dari Luwu di Sulawesi Selatan, bukan dari wilayah Priangan.

Naskah lokal yang mengungkapkan jejak peradaban besi yang dikenal luas, adalah naskah Carita Waruga Guru, yang diterjemahkan dari aksara dan bahasa Sunda ke dalam Bahasa Belanda oleh Pleyte (1913). Naskah ini memang tidak khusus bercerita tentang keris atau pun kujang, salah satu pusaka Sunda, akan tetapi tentang awal mula terjadinya Sunda. Meski naskah (istilah Sunda nya wawacan) dalam beraksara pegon ini bercerita tentang cerita-cerita kuno dari Abad ke-7, ke-8 dan seterusnya namun diperkirakan Naskah Waruga Guru yang ditemukan di salah satu kabuyutan atau tempat keramat di Kawali, Ciamis ini, menurut Pleyte ditulis pada abad XVIII antara tahun 1705-1709.

Kisah tentang keris

Keris dalam naskah Carita Waruga Guru disebutnya sebagai Duhung. Dikisahkan dalam cerita kelahiran Ciung Wanara atau Ciung Manarah yang pada masa kerajaan Galuh saat baru lahir dihanyutkan ke sungai oleh ibunya dalam kandaga, disertai sebutir telur dan “duhung sapucuk” atau sebilah keris.

Bayi yang dihanyutkan itu ditemukan oleh Aki Panyupit, atau dalam Carita Waruga Guru disebutnya Aki Balangantrang. Sampai besar tak mempunyai nama, atau tak diberi nama oleh Aki Balangantrang. Sampai suatu ketika diajak ke hutan, si anak itu bertanya pada Aki Balangantrang.  “Itu burung apa?” dijawabnya, burung Ciung. Lalu melihat sosok binatang lain. “Itu binatang apa?” dijawab Aki Balangantrang, itu monyet atau Wanara. Anak itupun berkata: Kalau begitu, beri nama saja saya Ciung Wanara ….

Ketika besar, Ciung Wanara atau Sang Manarah ini menjadi seorang lelaki tampan. Sedangkan telur di kandaga itu menjadi seekor ayam jago. Keris yang menyertai Ciung Wanara dalam kandaga ketika dihanyutkan ibunya, selalu “disungkeling” (disengkelit) dan nama kerisnya Sang Naga Lumenggung. Tidak disebutkan bentuknya, atau bahkan “dhapur” nya (Sunda tidak mengenal penamaan keris dari bentuk dhapurnya, atau modelnya, tetapi sekadar sebutan nama saja). Namun dari carita ini ditunjukkan bahwa, budaya keris, atau seni tempa keris sudah ada sebelum Ciung Wanara lahir.

Selain dari wawacan, dari bacaan, jejak peradaban besi utamanya para pande di Jawa Barat, tidak serta merta mudah dilacak. Meskipun nama-nama lokasi di wilayah Pasundan sampai kini jika dirunut secara etimologis mengunjuk pada peradaban besi. Seperti Gunung Papandayan yang mengandung arti tempatnya para pande (besi), ataupun desa Gilingwesi tak jauh dari Sumedang dan Ciamis yang kurang lebih bermakna tempat pengolahan besi, ataupun nama-nama lokasi yang mengunjuk pada material besi seperti Patokbeusi di Subang, tidak serta merta mengungkapkan jejak sejarah kerajinan besi berada di lokasi-lokasi tersebut. Itu terjadi lantaran minimnya sumber-sumber primer yang mengungkapkan keberadaan kriya besi, jejak empu-empu tosan aji di wilayah tersebut.

Hadian Wasita Saleh dan Bambang Kapdono bahkan sempat “maluruh” atau napak tilas jejak peradaban besi di wilayah Priangan pada tahun 2019, di lokasi-lokasi yang pernah disebut oleh penulis di era kolonial Belanda, JE Jaspers dan Mas Pirngadie (1930) sebagai lokasi dua pembuat pamor (pamorsmeden) Noerasan dari desa Ciparay serta Adiwiria dari desa Ciheulang. Nama Noerasan juga disebut lagi di buku tentang keris lainnya di Ensiklopedi Keris (2003) Bambang Harsrinuksmo.

Dari hasil penelusuran pada tahun 2019 itu memang masih ada pande besi di desa Ciheulang ataupun Ciparay. Meski demikian mereka bukan membuat keris lagi akan tetapi bikin golok. Sampai tahun 2019 lalu, di Ciparay hanya tinggal tiga “gosali” (tempat pembuatan keris atau tombak, di Jawa disebutnya sebagai “besalen”). Padahal, kata seorang pande besi pembuat golok di Ciparay, ketika ia masih muda tahun 1970-an ada kurang lebih 20 gosali.

Ciwidey di era kerajaan Galuh, dan Pajajaran di tanah Pasundan dulu kala adalah tempat para pande besi, tempat-tempat gosali. Namun ternyata, selaras perubahan zaman dan sudah berlangsung cukup lama, para keturunan pande gosali di Ciwidey, Priangan Selatan ini sudah beralih profesi jadi perajin atau pembuat senjata rakitan. Hasil kerajinan besi mereka kini berupa laras-laras senapan angin untuk berburu serta pistol-pistol rakitan. Senapan rakitan mereka di pasaran senapan di Jawa dikenal sebagai senapan-senapan angin Cipacing, dan laris dibeli oleh kalangan para pemburu binatang.

Jejak para Empu Pasundan

Jejak para empu keris di tanah Pasundan, justru banyak dicatat oleh beberapa wawacan atau naskah-naskah beraksara Jawa yang beredar di lingkungan keraton Surakarta di Jawa Tengah pada era Paku Buwana V serta era pemerintahan Paku Buwana X di Mataram Surakarta.

Wawacan yang memuat jejak empu-empu Pasundan yang beberapa di antaranya berkarya serta terkenal di zaman kejayaan Majapahit di Jawa Timur, serta Balambangan di antaranya adalah Serat Cariyosipun Para Empu ing Tanah Jawi (1919), Serat Paniti Kadga (1929) pada era PB X serta sebelum itu Suluk Tambang Raras atau yang lebih dikenal sebagai Serat Centhini (1823) pada era Paku Buwana V.

Dari ketiga naskah ini terungkap, ada kesamaan info serta adanya keterkaitan erat antara sejumlah empu dari tanah Pasundan (disebutnya Pajajaran) dengan kerajaan Majapahit maupun Balambangan di ujung timur Pulau Jawa.  Di Balambangan menurut Serat Cariyosipun Para Empu ing Tanah Jawi, dituliskan pernah kedatangan seorang empu yang “bisa nyembur bocah cilik”. Empu yang disebut Ki Kekep yang menghebohkan ini kemudian dipanggil Raja Balambangan. Ki Kekep diperintahkan raja untuk membuat Pangot (semacam pisau yang umum dipakai para ulama atau pendeta) serta Kacip (alat pembelah biji pinang untuk menginang tembakau dan sirih).

Selesai pangot dan kacip dibuat si empu, maka pangot disuruh untuk diasah orang yang membantunya. Teriris tangannya ketika mengasah, si pembantu mati. Juga demikian ketika kacip itu diasah, si pembantu kena gagang kacip, pembantu empu “ngglundhung, mati”. Raja pun amarah. Si empu diperintahkan dihukum mati. Tetapi si empu mengatakan, bisa menghidupkan yang mati. Dan ketika para pembantu yang “ngglundhung, mati” itu ditusuk pakai pangot dan kacip, mereka hidup kembali.

Sebagai hadiah, maka si empu dari tanah Pasundan, Pajajaran itu, dihadiahi busana dan kedudukan, dan bahkan membuat atas perintah raja, keris berdhapur Lung Gandhu berlekuk 13. Juga tombak Bong Ampel (pakai ada-ada di tengah bilah), tombak biring. Serta keris-keris dhapur Balebang berlekuk 7, keris lurus Sempaner serta keris luk 9 Sempana. Empu Kekep dihormati senegara Balambangan, punya anak empu Dewarasa dan kemudian Dewarasa mempunyai anak bernama empu Cangkring.

Perang Kerajaan di Jawa

Serat Centhini malah menulis catatan penting, bahwa pada sekitar tahun Caka 725 atau 805 Masehi, terjadi perang besar yang disebutnya sebagai Perang Baratayuda di antara kerajaan-kerajaan di tanah Jawa. Sehingga memicu negeri-negeri itu berlomba membuat gegaman, termasuk keris dan tombak. Perlombaan membuat gegaman itu, menurut Serat Centhini, berlangsung 100 tahun lebih. Sekali lagi, baik Serat Cariyosipun para Empu ing Tanah Jawi, Serat Paniti Kadga, bahkan juga Serat Centhini hanya sekadar wawacan. Bukan sumber primer. Maka harus dicerna secara kritis, dan dikroscek kebenarannya jika ditemukan sumber primer yang lebih sahih.

Suluk Tambang Raras atau Serat Centhini juga mengungkap, kepindahan raja Jenggala Lembu Miluhur ke Pajajaran pada tahun Caka 1119 atau 1197 Masehi. Lembu Miluhur di Pajajaran disebutnya Prabu Kuda Laleyan. Semasa Prabu Kuda Laleyan memerintah, dia juga yasa beberapa keris berdhapur Carangsoka berlekuk 9 dan keris lurus Sinom, yang membuat Empu Jangga dan Empu Windusarpa. Di Pajajaran, Prabu Kuda Laleyan juga yasa keris berdhapur Brojol yang membuat Empu Windusarpa. Serat Paniti Kadga (1929) juga menyebutkan yang sama. Pengganti Prabu Kuda Laleyan, Prabu Banjaransekar atau Banjaransari versi Centhini yasa keris berdhapur tilamupih dan tilamsari serta empunya Windusarpa, dan menyebut angka tahun Caka 1170 Atau 1248 Masehi.

Keberadaan seorang empu, sering tidak hanya satu periode raja, akan tetapi juga masih tetap berkarya pada masa pemerintahan penggantinya. Seperti yang terjadi pada Empu Windusarpa, yang bahkan tidak hanya berkarya di era Pajajaran, akan tetapi juga pada era sebelumnya di Jenggala. Ketika raja Jenggala Lembu Miluhur pindah ke Pajajaran pun, empu Windusarpa berkarya di era kepemerintahannya. Era “perlombaan senjata” era yang disebut Perang Baratayuda di Jawa abad ke-9 dan ke-10, terus berlanjut sampai ke masa Pajajaran dan para empu seperti menjadi aset kerajaan dalam hal pengadaan gegaman. Disamping itu, profesi empu keris, empu gegaman, juga turun-temurun.

Empu Andayasangkala anak empu Windusarpa, misalnya. Ia meneruskan profesi empu pada masa Prabu Banjaransari atau Banjaransekar memerintah Pajajaran. Selain menghasilkan keris pusaka berdhapur Tilamupih serta dhapur-dhapur keris kuno, Empu Andayasangkala juga membuat keris dhapur Parungsari berlekuk 13 untuk rajanya. Ditulis baik oleh Serat Centhini maupun Serat Paniti Kadga terjadi pada tahun 1186 Caka atau 1264 Masehi.

Anak empu Andayasangkala, Empu Kajatsari berkarya pada masa Prabu Mundingsari di Pajajaran. Selain membuat keris-keris berdhapur kuno, ia juga yasa keris lurus Sinom, serta Sinom Wura Wari pada angka tahun Candrasengkala 1228 atau 1306 Masehi. Empu Kajatsari memiliki dua anak yang kemudian juga menjadi empu Pajajaran, yakni Empu Kajatwisesa dan Empu Bramakedi.

Empu Anjani adalah anak empu Bramakedi, dikenal sebagai empu Pajajaran yang gentur tapanya di puncak gunung. Berkarya sebagai empu kerajaan Pajajaran pada masa pemerintahan Prabu Gandakusuma. Dituturkan dalam Serat Centhini maupun Serat Paniti Kadga, Empu Anjadi dikenal membuat keris lurus Jalak Ngore serta Carita Kalenthang luk 17 pada angka tahun candrasengkala 1260 atau 1348 Masehi.

Empu Minang dari Sunda

Ketika di Pajajaran bertahta Prabu Ciyung Wanara, empu yang berkarya pada masa pemerintahannya adalah Empu Marcukundha. Dhapur keris yang digarap empu ini adalah Jangkung berlekuk tiga, serta Pandawa Cinarita luk 5 yang digarap anak empu Marcukundha yakni empu Manca, serta cucu atau anak empu Manca yakni Empu Kuwung. Empu Manca inilah empu Pajajaran yang menurunkan empu-empu yang berkarya di Jawa bagian Timur ketika berjayanya kerajaan Majapahit (kerajaan yang didirikan Sang Harya Bangah alias Raden Wijaya), dan penggantinya. Sedangkan anak empu Marcukunda yang sulung, Empu Sanggabumi, berkelana di kerajaan Sumatera Barat pada masa berjayanya kerajaan Pagaruyung di Minang masa pemerintahan Adityawarman, alias Arya Damar raja Palembang yang berdarah Majapahit.

Empu Sanggabumi yang berkarya lama di Minangkabau, Sumatera pada era Adiyawarman ini, dan ketika tua kembali ke Pajajaran, terus menuju ke timur menetap di wilayah kerajaan Cirebon. Sepulang dari Minang dan menetap di Cirebon, Empu Sanggabumi berganti nama Sang Bramakedali. Memiliki dua panjak ketika berkarya di Cirebon, yakni Kebo Songka dan Kebo Lajer. Dihadiahi tanah pelungguh satus karya, dan memiliki anak empu Dewajani yang menghasilkan karya tumbak, serta keris dengan dhapur terkenal Nagasasra dan Kalamisani yang besinya dilukiskan hurab-hurab semu jingga. Juga keris Kalawelang atau Karawelang luk 13, Carita luk lima dan Jangkung Pacar berlekuk tiga.

Sementara Ki Manca adik Empu Sanggabumi, memiliki empat saudara yang kesemuanya juga empu, satu diantaranya empu perempuan, Ni Mbok Sombro. Sulungnya Empu Kuwung, dan ketiga adiknya adalah Empu Hangga ing Tapan, Empu Keleng, dan Ni Mbok Sombro.

Serat Centhini maupun Serat Paniti Kadga juga mengungkapkan hijrahnya empu-empu Pajajaran ke tlatah wetan di Jawa Timur, ketika masa berjayanya kerajaan Majapahit. Serat Cariyosipun Para Empu ing Tanah Jawi dengan lebih rinci mengungkapkan kepergian para empu Pajajaran ini ke Majapahit. Alkisah, Empu Kuwung yang dilukiskan berwajah tampan serta besinya dikenal “gedah” (baagus) dalam mitosnya diungkapkan “membuat keris hanya dengan telapak tangannya serta paron dhengkulnya” membuat keempat adiknya merasa tersisih. Karena, hanya empu Kuwung yang disayang sang Nata Pajajaran.

Maka, bertapalah empu Hangga adik Ki Kuwung di puncak gunung. Dalam tapanya, empu Hangga bertemu dengan sosok kakek buyut nya, Empu Anjani. Empu Anjani merangkulnya, dan mengatakan “sira kulup alungaha, wus sedheng sira sumingkir, pandheya tengah samodra, sumingkira kadi kene, lawan ngaliya aran arana Singkir benjang, karya tumbak lawan duwung tameng geni lawan toya…,” Artinya, kamu menyingkirlah, sudah saatnya kamu menyingkir, memandelah (membuat keris) di tengah samudera, menyingkirlah dari sini, dan beralihlah nama Singkir, kalau bikin tumbak serta keris bisa dipakai sebagai perisai lawan api dan air.

Empu Hangga (ing Tapan) pun menyingkir ke Timur, ke kerajaan Majapahit (versi Cariyosipun Para Empu, ke Majalangu). Karena, menurut bebisik kakek buyutnya Empu Anjani, negeri ini (Pajajaran) tidak lama lagi akan rusak. Maka mengabdilah ke raja Majalangu. Maka benar-benar menyingkirlah Empu Hangga ing Tapan, memisahkan diri dari saudara sulungnya, Ki Kuwung dan “berkarya di tengah laut” (bisa diartikan, dalam perjalanan menuju ke Timur, ia berkarya di perjalanan) dibantu dua asistennya Ki Rebo dan Ki Sebrang. Empu Hangga, menurut Serat Paniti Kadga, berkarya pada masa Prabu Brawijaya pertama di Majapahit di antaranya menghasilkan keris-keris berdhapur Jalak Sangutumpeng, Jalak Sumelang Gandring dan Mangkurat ketiganya lurus, serta dhapur Mangkurat Mangkunagara berlekuk lima, pada tahun Caka 1303 atau 1381 Masehi.

Tahun-tahun yang ditulis di Serat Centhini, maupun Serat Paniti Kadga dan Serat Cariyosipun Para Empu ing Tanah Jawi selalu dalam angka tahun Caka, ditambah selisih 78 untuk dikonversikan dalam angka tahun Masehi. Meski demikian, karena sumber ini berupa wawacan, angka-angka tahun ini masih harus dikroscek lagi pada sumber-sumber primer yang lebih sahih.

Adik empu Hangga, Ki Keleng menurut Serat Cariyosipun Para Empu, juga meninggalkan Pajajaran menuju ke Madura di utara Jawa Timur. Karya-karya Ki Keleng yang dibantu enam panjaknya, dikenal keris dan tumbak bikinannya “hitam anglumut pamornya ngawat semu ijo, hitam bajanya”. Ia menempuh perjalanan laut, naik kapal (perahu), tidak lupa membawa seluruh perlengkapannya dari paron, pemukul, ububan, sapit, panimbal dan dalam perjalanan menuju Madura, Ki Keleng juga berkarya. Di Madura, Ki Keleng singgah di susun Pituruh memakai nama Ki Wanabaya, dan lama-lama ia dipanggil raja (adipati) di Madura dan diberi nama Empu Kasa. Keris buatan Ki Kasa terkenal ampuh. Sembarang yang dicoba, busuk, atau bulunya rontok. Besi bajanya dilukiskan seperti “ular demung” ada pamornya yang nggajih, tetapi ada yang cemerlang (akhodiat), nunggak-nunggak besinya, ke membludru.

Ganti cerita, kakaknya Ki Keleng, yakni Hangga ing Tapan alias Empu Singkir, kembali bertapa di daerah Majalengka, belum menjadi kerajaan Majapahit. Ia tidak hanya membuat keris, akan tetapi juga pedang dan tombak sembari bertapa di pucuk gunung. Selain menyebut dirinya Ki Singkir, orang-orang juga menyebutnya Ki Tawan. Lama-lama terdengar kehebatannya sebagai empu oleh raja Majapahit, diminta membikin keris dan tombak. Dikenal, garap besinya “nggendul” semu biru, ngulawu (keabu-abuan) dan angglugut, pamornya putih. Pusaka bikinannya kalis api dan air.

Si bungsu dari empu Manca, Ni Mbok Sombro, dilukiskan tidak hanya cantik, akan tetapi juga menjadi empu perempuan yang terkenal. Hanya saja, kelemahannya ia tidak bisa membuat dhapur-dhapur keris kuna seperti Empu Kuwung, Empu Hangga dan Empu Keleng kakak-kakaknya. Bikinannya bergaya dirinya sendiri, dhapur pun tersendiri yang populer dijuluki “keris-keris sombro” di kalangan perkerisan. Meski demikian, mutu tempanya bagus, dan bahkan besinya dilukiskan “semu angglugut”, menggelugut.

Alkisah, satu-satunya anak empu Ki Manca yang berkarya di Pajajaran, yakni Ki Kuwung, akhirnya mengikuti jejak adik-adiknya setelah surutnya Pajajaran. Berkelana meninggalkan Pajajaran menuju Timur. Dalam perjalanan lautnya, Ki Kuwung singgah di Lasem di pesisir utara Jawa bagian Tengah, bikin keris dan tombak tetapi kurang baik. Ia kemudian meneruskan hijrahnya ke pesisir timur Pulau Jawa dan singgah serta tinggal di Tuban. Anak Ki Kuwung Pajajaran yang menetap di Tuban pada masa tuanya, memiliki lima anak. Pambarep atau sulungnya perempuan, Ni Mbok Sembaga, adiknya Ki Jaka Jati yang nantinya jadi Empu Bekel Jati, lalu Ki Paniti, serta dua adiknya Ki Jaka Suratman dan Ki Salaeta. Mereka dipelihara empu terpandang di Tuban, yakni Sang Haryateja.

Oleh Haryateja di Tuban, kelima anak-anak Empu Kuwung Pajajaran ini diminta untuk membuat keris, banyak sekali karya mereka. Dhapur-dhapur tombak garapan dari empu-empu dari tlatah Kulonan ini di antaranya tombak-tombak berdhapur biring, bongampel dan dhapur baru, serta dhapur cekel dan tombak berlekuk Daradasih.

Lain cerita lagi, Empu Ni Mbok Sombro bu lik (tante) mereka yang tadinya ditinggal tiga saudaranya yang mengabdi di Mojopahit, akhirnya kawin dengan anak pendeta di gunung, namanya Jakapuring. Ni Sombro terus berkarya setelah menikah, sempat bikin empat keris serta tumbak yang besinya dilukiskan angglugut semu kering. Kalau membuat tombak, bentuknya tidak umum, lebar-lebar, pendhek sosok tombaknya, tanpa pamor dan disebutnya besi tempaan Ni Sombro sebagai “malela pusuh”. Beberapa berdhapur Sigar Jantung. Ni Sombro pun memiliki anak, ki Empu Darmajati dan Ki Empu Bayu. Lalu Ki Empu Bayu punya anak lagi bernama Ki Bayansari. Cucu Ni Sombro inilah yang kondang disebut Empu Loning di Bagelen.*

Sumber:

Anthony Reid : Southeast Asia in the Age of Commerce 1450-1680, Tome Pires: Suma Oriental (1944), B Schrieke: Indonesian Sociological Studies (1960), Claude Guillot: Banten Sejarah dan Peradaban Abad X-XVII, Vogel van der Hyde: Serat Cariyosipun Para Empu (1919), Rangga Soetrisno: Serat Centhini al Suluk Tambangraras (1823), De Bliksem: Serat Paniti Kadga (1929), Jimmy S Harianto/Riyo S Danumurti: Melacak Jejak Keris Pasundan (2021).

Jimmy S Harianto, Pengamat budaya, dan wartawan senior Kompas.

Silsilah para empu keris menurut Serat Centhini

The lineage of the keris masters according to Serat Centhini

Posted in