Artikel

Home » Artikel » Keris Dalam Sorotan Psikologi Seni

Keris Dalam Sorotan Psikologi Seni

400945_620

Oleh : Buntje Harbunangin

Sebagai warisan budaya, keris selalu menarik untuk disorot dari berbagai pendekatan. Baik sejarah, spiritualisme, metalurgi, artistik, anthropologi, sosiologi dan juga – psikologi. Dalam tulisan singkat dan sederhana ini, kita akan lihat bagaimana psikologi mencoba menjelaskan pamor keris, terutama dalam proses penciptaannya?

Kita tahu, motif atau pola pamor tampak pada permukaan bilah keris. Ia terbentuk karena perbedaan warna dan nuansa bahan baku keris. Lewat teknik tempa lipat, logam keris menyatu dalam bentuk  lapisan-lapisan tipis namun tidak bersenyawa atau melebur. Dengan kata lain, sebuah pamor berdiri sendiri sebagai salah satu unsur keindahan keris.

Dilihat dari cara pembuatannya, ternyata ada dua proses yang berlangsung. Proses pertama, membentuk pamor dengan direncanakan terlebih dahulu. Namanya, Pamor Rekan (asal kata reka-reka). Sang Empu, mengerahkan semua ketrampilannya untuk mengatur setiap unsur dan tahapan agar dapat mewujudkan pamor seperti yang diinginkan sang pemesannya.  Beberapa contoh pamor rekan antara lain: Udan Mas, Blarak Ngirid, Kupu Tarung, Ron Genduru dan banyak lagi.

Dalam proses kedua, pamor justru terbentuk dengan sendirinya. Pola dan motif yang lahir tidak direncanakan secara sadar oleh sang Empu. Namanya, Pamor Tiban. Beberapa nama pamornya antara lain, Kendit Gumantung, Raja Gundala, Ratu Pinayungan, Slamet, Pulo Tirta, Pedaringan Kebak, Wos Wutah, Tunggak Semi dan beberapa contoh lain (lihat Ensiklopedi Keris – Bambang Harsrinuksmo)

Pertanyaan kritisnya adalah, apakah seorang Empu cenderung memilih merencanakan pamor terlebih dahulu ataukah membuat pamor tanpa rencana? Menilik kenyataan bahwa keris biasanya dibuat atas permintaan dari pemesan. Lebih lanjut lagi, dengan adanya fenomena pamor itu dianggap membawa tuah tertentu, secara hipotetis dapat disimpulkan, kecenderungan untuk merencanakan terlebih dahulu akan lebih besar daripada membuat tanpa rencana.

Maka jadi menarik bila kita meneliti proses yang kedua, pamor tiban. Pamor yang dibuat tanpa rencana. Lalu apa yang mendorong sang Empu sehingga tanpa rencana dan tanpa sadar dapat menghasilkan pamor tertentu? Kekuatan apa yang memandu dirinya untuk mengarahkan agar pamor tiban itu terbentuk?

Melalui jalan pintas secara spiritual (spiritual bypass), beberapa orang beranggapan bahwa pamor tiban adalah anugerah ilahiah. Sesuatu yang sudah masuk ke wilayah keyakinan. Diskusi pun berhenti.

Namun, tak ada salahnya kita coba melihat dari sisi lain, dalam hal ini Psikologi Dalam (Depth Psychology). Sebuah teori ini yang dirintis oleh Car Gustav Jung, tokoh psikologi modern, psikiater, psikolog, sekaligus seorang seniman. Teorinya yang terkenal adalah bahwa perilaku manusia itu ditentukan oleh dua hal: Kesadaran dan Ketidaksadaran.

Ketertarikan Jung pada dunia seni membuatnya menekuni berbagai proses kreatif seniman dalam arti seluas—luasnya. Maksud luas di sini adalah semua proses kreativitas dalam membuat karya seni, baik seni lukis, seni drama, seni musik dan seterusnya. Nyaris semua karya seni masuk dalam analisis teorinya. Sementara itu, kita sendiri sebagai bangsa bahkan dunia sudah mengakui bahwa keris adalah juga karya seni. Oleh sebab itu, proses kreatif Empu sebagai seniman termasuk juga dalam bahasan teorinya Jung.  

Bagi Jung, kreativitas adalah instink. Sebagai instink, selain tidak disadari, ia sangat penting kedudukannya dalam jiwa (psike). Ia membagi instink manusia ke dalam lima tingkatan.

LIMA INSTINK

Ada lima instink yang berperan dalam diri setiap manusia.

Pertama, instink lapar (hunger). Inilah dasar dari semua instink. Lapar mendorong orang untuk makan dan minum. Dari makan dan minum orang mendapatkan enersi fisikal. Enersi fisik ini kemudian dikonversi jadi enersi psikis. Orang harus kenyang dulu untuk bisa berpikir, merasakan sesuatu dan bertindak.

Kedua, instink seksual. Orang mewarisi instink ini selain untuk pro-kreasi, berketurunan juga untuk  rekreasi, bersenang-senang. Instink ini paling rentan ketika dihadapkan dengan peradaban atau aturan moralitas. Namun, instink ini tetap harus dipuaskan. Oleh karena itu terjadi berbagai mekanisme seperti pengalihan atau sublimasi dari instink terlarang ini (dansa atau tarian, misalnya).

Instink ketiga adalah aktivitas, dorongan untuk berkegiatan. Manifestasinya beragam seperti bertualang, bertamasya, bekerja, bercinta atau bermain. Orang selalu didorong untuk punya kegiatan. Bahkan orang yang sudah bekelimpahan secara finansial pun, tetap tak tahan berdiam diri. Ia akan mencari kegiatan, baik dengan terus mencari uang atau bentuk lain seperti kegiatan sosial.

Sedangkan instink keempat adalah refleksi. Instink ini mendorong orang  merenungkan keberadaannya. Darimana ia berasal, mau kemana ia pergi, dan untuk apa ia hidup, apa tugas hidupnya, apa tujuan utama yang harus dikejar sepanjang hidup? Instink ini mendominasi para pencari ketenangan batin (spiritual seeker). Instink ini pula yang menciptakan berbagai ragam relijiusitas dan kepercayaan di dunia.

Instink terakhir adalah kreativitas. Manusia adalah mahkluk kreatif. Dengan kreativitas, mereka menciptakan kebudayaan dan peradaban. Dengan kreativitas mereka beralih dari pemburu,  pengumpul, petani lalu menciptakan industri dan seterusnya. Inilah instink yang tertinggi nilainya, sekaligus paling berisiko. Instink kreativitas bisa menciptakan hal baik tapi juga sekaligus bisa destruktif seperti penemuan atom atau senjata nuklir.  

Kata “tertinggi” menunjukkan bahwa kelima instink di atas memiliki hirarki. Instink tertinggi akan menentukan instink di bawahnya. Sebagai contoh, instink kreatif sebagai instink tertinggi memengaruhi instink di bawahnya yaitu refleksi. Dengan kreatifitas, kita menyalurkan instink refleksi. Kita mengenali figur ilahiah yang berbeda-beda dari ruang dan waktu. Kita juga menampilkan berbagai ekspresi kreatif yang berbeda-beda saat melakukan pemujaan atau ritual relijius. Oleh sebab itu, di luar persoalan setuju tidak setuju, ada pendapat bahwa relijiusitas, sebagai instink refleksi, bersifat evolutif. Pemahaman manusia tentang pencipta kehidupan, makna kehidupan, cara pemujaan kepada yang tertinggi bisa berubah-ubah sesuai zaman, wilayah dan kebudayaan karena adanya instink kreativitas ini.

Selanjutnya, instink kreativitas sebagai instink tertinggi juga memengaruhi instink yang lain. Mengubah cara kita memenuhi instink beraktivitas, mulai dari hal kecil seperti trend olah raga, memilih mode pakaian, membangun arsitektur rumah, cara berbahasa dan berkomunikasi. Termasuk memanfaatkan teknologi dalam aktivitas apa pun, dari bangun sampai tidur, seperti kita saksikan hari ini. Dalam hal seksualitas, cara kita mengekspresikan instink seks di zaman purba juga berbeda dengan hari ini. Bahkan, dalam memuaskan instink lapar pun, cara dan budaya makan minum akan selalu berubah dari zaman ke zaman, Ini semua terjadi karena, sebagai manusia,  kita punya instink kreativitas.

Empu sebagai seniman adalah mahkluk kreatif. Berbeda dengan profesi lain, seorang seniman sangat terikat erat pada instink kreatif. Instink inilah yang mendorongnya menciptakan berbagai karya seni, baik didorong oleh permintaan dari luar atau pun dorongan dari dalam. Kreativitas adalah kekayaan dan kemewahan dari setiap seniman.

PAMOR SEBAGAI KARYA PSIKOLOGIKAL DAN VISIONER

Dilihat dari proses pembuatannya maka pamor terbagi dalam dua jenis karya. Karya pertama, Pamor Rekan sebagai karya psikologikal. Di sini, sang Empu benar-benar bekerja dengan sadar. Bahan pamornya, penempatan lapisan dan teknik tempa lipat, sudah direncanakan dengan saksama. Maka terwujudlah keris dengan pamor yang memuaskan sang Empu dan pemesannya karena wujudnya memenuhi apa yang diharapkan.

Karya kedua, Pamor Tiban sebagai karya visioner. Ini berbeda dengan di atas. Pembuatannya benar-benar tanpa disadari. Bersumber dari ketidaksadaran. Sang Empu tidak merencanakan pamor apa yang akan muncul. Ia berjalan mengalir begitu saja. Ketika pamornya muncul, ada kemungkinan ia bisa kecewa atau malah sangat puas dengan hasilnya. Pamor menjadi memukau dan sangat indah.

Dalam hal kepuasan tersebut, sangat bisa sang Empu lalu beranggapan bahwa pamor itu terwujud karena usahanya. Mungkin ia berpikira karena telah mengatur suhu yang tepat, atau menempatkan lapisan meteor atau nikel dengan pas, dan seterusnya. Ini adalah sebuah cara berpikir yang lumrah, manusiawi dan sah. Padahal, bila ia jujur, ia perlu mengakui bahwa ada proses dalam dirinya yang tak disadari yang menuntunnya untuk menghasilkan pamor tersebut.

Jung mengibaratkan cara berpikir sang Empu tersebut seperti orang berenang. Bayangkan seseorang terjebak dalam arus sungai yang deras. Satu-satunya jalan adalah menuju ke tepian sungai. Maka ia akan menggerak-gerakkan kaki dan tangannya agar sampai ke tepian. Katakanlah akhirnya sampai juga ia ke pinggir sungai. Setelah selamat, mungkin orang itu  berpikir bahwa ia selamat ke tepian karena usahanya menggerakkan kaki dan tangannya. Yang sebetulnya terjadi dan tidak disadari orang itu, sebenarnya ia selamat ke tepian karena dorongan air sungai yang mengarahkannya ke pinggir, bukan usahanya sendiri.

Sebagai penutup, lalu apa yang menggerakkan sang Empu sehingga dapat melahirkan sebuah pamor tiban? Dalam teori psikologi dalam Jung, yang menggerakkan sang Empu adalah instink kreatif yang sumbernya dari ketidak sadaran. Instink itu bergerak secara otonom. Bahwa  instink itu adalah anugerah ekslusif baginya sebagai seniman, itu benar. Namun, ini juga berarti bahwa sang Empu sebenarnya dijadikan instrumen oleh ketidaksadaran yang “memaksa” untuk menciptakan pamor tersebut. Sang Empu dan seniman lainnya hanyalah “alat”. Biasanya, kekuatan ketidaksadaran dalam melakukan itu adalah untuk memberi pesan tertentu bagi orang banyak. Pesan misterius inilah yang perlu ditafsirkan bersama. Fenomena kekuatan ketidaksadaran ini yang sebenarnya membuat Faust menciptakan Goethe bukan Goethe menciptakan Faust, Pancasila yang menciptakan Bung Karno dan Pamor Tiban menciptakan sang Empu.

Buntje Harbunangin (Psikolog)

Pemerhati budaya.
Bintaro 2022

Posted in